Sejarah Tempe Asal Usul Bagaimana Tempe Ditemukan
Kita akan membahas sejarah tempe dan asal usul bagaimana sejarah tempe ini ditemukan. Kuliner satu ini adalah kuliner yang sangat familiar di lidah orang Indonesia, tapi tau nggak sejarah tempe serta asal usul bagaimana tempe ini ditemukan?
Tidak seperti makanan kedelai tradisional lain yang biasanya berasal dari Cina atau Jepang, tempe berasal dari Indonesia. Makanan tradisonal ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, dalam tatanan budaya makan masyarakat Suku Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta.
Dalam bab 3 dan bab 12 manuskrip Serat Centhini dengan seting Jawa abad ke-16. Serat Centhini sendiri ditulis pada awal abad ke-19, telah ditemukan kata tempe, misalnya dengan penyebutan nama hidangan jae santen tempe yaitu sejenis masakan tempe dengan santan, dan kadhele tempe srundengan.
Hal ini dan catatan sejarah yang tersedia lainnya menunjukkan bahwa mungkin pada mulanya tempe diproduksi dari kedelai hitam, berasal dari masyarakat pedesaan tradisional Jawa, dan kemungkinan dikembangkan di daerah Mataram, Jawa Tengah, dan berkembang sebelum abad ke-16.
Kata tempe berasal dari bahasa Jawa Kuno. Pada zaman Jawa Kuno terdapat makanan berwarna putih terbuat dari tepung sagu yang disebut tumpi. Tempe segar yang juga berwarna putih terlihat memiliki kesamaan dengan makanan tumpi tersebut.
Selain itu terdapat rujukan mengenai tempe dari tahun 1875 dalam sebuah kamus bahasa Jawa-Belanda. Sumber lain mengatakan bahwa pembuatan tempe diawali semasa era Tanam Paksa di Jawa.
Pada saat itu, masyarakat Jawa terpaksa menggunakan hasil pekarangan, seperti singkong, ubi dan kedelai, sebagai sumber pangan. kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Aspergillus. Selanjutnya, teknik pembuatan tempe menyebar ke seluruh Indonesia, sejalan dengan penyebaran masyarakat Jawa yang bermigrasi ke seluruh penjuru Tanah Air.
Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40% tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain, seperti tauco, kecap, dan lain-lain.
Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg. Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, para tawanan perang yang diberi makan tempe terhindar dari disentri dan busung lapar.
Sejumlah penelitian yang diterbitkan pada tahun 1940-an sampai dengan 1960-an juga menyimpulkan bahwa banyak tahanan Perang Dunia II berhasil selamat karena tempe. Tempe yang kaya protein ini pun telah menyelamatkan kesehatan penduduk Indonesia yang padat dan berpenghasilan relatif rendah.
Namun nama tempe juga pernah digunakan di daerah perkotaan Jawa, terutama Jawa tengah, untuk mengacu pada sesuatu yang bermutu rendah. Istilah seperti mental tempe atau kelas tempe digunakan untuk merendahkan dengan arti bahwa hal yang dibicarakan bermutu rendah karena murah seperti tempe.
Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an terjadi sejumlah perubahan dalam pembuatan tempe di Indonesia. Plastik mulai menggantikan daun pisang untuk membungkus tempe, ragi berbasis tepung yang diproduksi mulai 1976 oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan banyak digunakan oleh Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia.
Produksi tempe meningkat dan industrinya mulai dimodernisasi pada tahun 1980-an, sebagian berkat peran serta Kopti yang berdiri pada 11 Maret 1979 di Jakarta dan pada tahun 1983 telah beranggotakan lebih dari 28.000 produsen tempe dan tahu.
Produksi tempe juga mulai menggunakan starter komersial yang menggantikan daun Waru sebagai inokulan, hal ini menyebabkan menurunnya kualitas tempeh yang tadinya memiliki tekstur putih lebih berbulu dan wangi lebih harum yang sering ditemukan di tempeh asal Malang dan Purwakarta, ini disebabkan karena varian dominan pada tempeh tersebut adalah Rhizopus arrhizus dan Rhizopus delemar.
Malang terletak pada dataran tinggi dan tempeh yang menggunakan Rhizopus oligosprus menghasilkan tempe dengan kepadatan rendah dan lebih beralkohol, sedangkan Rhizopus arrhizus memiliki suhu optimum lebih rendah dan menjadi lebih dominan.
Standar teknis untuk tempe telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia dan yang berlaku sejak 9 Oktober 2009 ialah SNI 3144:2009. Dalam standar tersebut, tempe kedelai didefinisikan sebagai "produk yang diperoleh dari fermentasi biji kedelai dengan menggunakan kapang Rhizopus sp., berbentuk padatan kompak, berwarna putih sedikit keabu-abuan dan berbau khas tempe".
Pada September 2021 produk pangan olahan Indonesia tempe dari Superfood akan masuk ke pasar Jepang melalui salah satu distributor besar Jepang Kobe Bussan Co.Ltd.
Hal ini merupakan hasil penandatanganan kontrak repeat order antara PT Arumia Kharisma Indonesia dengan Kobe Bussan Co.Ltd dengan volume hingga 13,8 ton yang akan didistribusikan untuk wilayah Kansai dan Kanto Jepang, tempe Indonesia resmi rambah pasar Jepang.
Tempe dikenal oleh masyarakat Eropa melalui orang-orang Belanda. Pada tahun 1895, Prinsen Geerlings seorang ahli kimia dan mikrobiologi dari Belanda, melakukan usaha yang pertama kali untuk mengidentifikasi kapang tempe.
Perusahaan-perusahaan tempe yang pertama di Eropa dimulai di Belanda oleh para imigran asal Indonesia. Melalui Belanda, tempe telah populer di Eropa sejak tahun 1946.
Sementara itu, tempe populer di Amerika Serikat setelah pertama kali dibuat di sana pada tahun 1958 oleh Yap Bwee Hwa, orang Indonesia yang pertama kali melakukan penelitian ilmiah mengenai tempe.
Di Jepang, tempe diteliti sejak tahun 1926 tetapi baru mulai diproduksi secara komersial sekitar tahun 1983. Pada tahun 1984 sudah tercatat 18 perusahaan tempe di Eropa, 53 di Amerika, dan 8 di Jepang. Di beberapa negara lain, seperti Republik Rakyat Tiongkok, India, Taiwan, Sri Lanka, Kanada, Australia, Amerika Latin, dan Afrika, tempe sudah mulai dikenal di kalangan terbatas.
Tidak seperti makanan kedelai tradisional lain yang biasanya berasal dari Cina atau Jepang, tempe berasal dari Indonesia. Makanan tradisonal ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, dalam tatanan budaya makan masyarakat Suku Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta.
Dalam bab 3 dan bab 12 manuskrip Serat Centhini dengan seting Jawa abad ke-16. Serat Centhini sendiri ditulis pada awal abad ke-19, telah ditemukan kata tempe, misalnya dengan penyebutan nama hidangan jae santen tempe yaitu sejenis masakan tempe dengan santan, dan kadhele tempe srundengan.
Hal ini dan catatan sejarah yang tersedia lainnya menunjukkan bahwa mungkin pada mulanya tempe diproduksi dari kedelai hitam, berasal dari masyarakat pedesaan tradisional Jawa, dan kemungkinan dikembangkan di daerah Mataram, Jawa Tengah, dan berkembang sebelum abad ke-16.
Kata tempe berasal dari bahasa Jawa Kuno. Pada zaman Jawa Kuno terdapat makanan berwarna putih terbuat dari tepung sagu yang disebut tumpi. Tempe segar yang juga berwarna putih terlihat memiliki kesamaan dengan makanan tumpi tersebut.
Selain itu terdapat rujukan mengenai tempe dari tahun 1875 dalam sebuah kamus bahasa Jawa-Belanda. Sumber lain mengatakan bahwa pembuatan tempe diawali semasa era Tanam Paksa di Jawa.
Pada saat itu, masyarakat Jawa terpaksa menggunakan hasil pekarangan, seperti singkong, ubi dan kedelai, sebagai sumber pangan. kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Aspergillus. Selanjutnya, teknik pembuatan tempe menyebar ke seluruh Indonesia, sejalan dengan penyebaran masyarakat Jawa yang bermigrasi ke seluruh penjuru Tanah Air.
Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40% tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain, seperti tauco, kecap, dan lain-lain.
Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg. Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, para tawanan perang yang diberi makan tempe terhindar dari disentri dan busung lapar.
Sejumlah penelitian yang diterbitkan pada tahun 1940-an sampai dengan 1960-an juga menyimpulkan bahwa banyak tahanan Perang Dunia II berhasil selamat karena tempe. Tempe yang kaya protein ini pun telah menyelamatkan kesehatan penduduk Indonesia yang padat dan berpenghasilan relatif rendah.
Namun nama tempe juga pernah digunakan di daerah perkotaan Jawa, terutama Jawa tengah, untuk mengacu pada sesuatu yang bermutu rendah. Istilah seperti mental tempe atau kelas tempe digunakan untuk merendahkan dengan arti bahwa hal yang dibicarakan bermutu rendah karena murah seperti tempe.
Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an terjadi sejumlah perubahan dalam pembuatan tempe di Indonesia. Plastik mulai menggantikan daun pisang untuk membungkus tempe, ragi berbasis tepung yang diproduksi mulai 1976 oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan banyak digunakan oleh Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia.
Produksi tempe meningkat dan industrinya mulai dimodernisasi pada tahun 1980-an, sebagian berkat peran serta Kopti yang berdiri pada 11 Maret 1979 di Jakarta dan pada tahun 1983 telah beranggotakan lebih dari 28.000 produsen tempe dan tahu.
Produksi tempe juga mulai menggunakan starter komersial yang menggantikan daun Waru sebagai inokulan, hal ini menyebabkan menurunnya kualitas tempeh yang tadinya memiliki tekstur putih lebih berbulu dan wangi lebih harum yang sering ditemukan di tempeh asal Malang dan Purwakarta, ini disebabkan karena varian dominan pada tempeh tersebut adalah Rhizopus arrhizus dan Rhizopus delemar.
Malang terletak pada dataran tinggi dan tempeh yang menggunakan Rhizopus oligosprus menghasilkan tempe dengan kepadatan rendah dan lebih beralkohol, sedangkan Rhizopus arrhizus memiliki suhu optimum lebih rendah dan menjadi lebih dominan.
Standar teknis untuk tempe telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia dan yang berlaku sejak 9 Oktober 2009 ialah SNI 3144:2009. Dalam standar tersebut, tempe kedelai didefinisikan sebagai "produk yang diperoleh dari fermentasi biji kedelai dengan menggunakan kapang Rhizopus sp., berbentuk padatan kompak, berwarna putih sedikit keabu-abuan dan berbau khas tempe".
Pada September 2021 produk pangan olahan Indonesia tempe dari Superfood akan masuk ke pasar Jepang melalui salah satu distributor besar Jepang Kobe Bussan Co.Ltd.
Hal ini merupakan hasil penandatanganan kontrak repeat order antara PT Arumia Kharisma Indonesia dengan Kobe Bussan Co.Ltd dengan volume hingga 13,8 ton yang akan didistribusikan untuk wilayah Kansai dan Kanto Jepang, tempe Indonesia resmi rambah pasar Jepang.
Tempe dikenal oleh masyarakat Eropa melalui orang-orang Belanda. Pada tahun 1895, Prinsen Geerlings seorang ahli kimia dan mikrobiologi dari Belanda, melakukan usaha yang pertama kali untuk mengidentifikasi kapang tempe.
Perusahaan-perusahaan tempe yang pertama di Eropa dimulai di Belanda oleh para imigran asal Indonesia. Melalui Belanda, tempe telah populer di Eropa sejak tahun 1946.
Sementara itu, tempe populer di Amerika Serikat setelah pertama kali dibuat di sana pada tahun 1958 oleh Yap Bwee Hwa, orang Indonesia yang pertama kali melakukan penelitian ilmiah mengenai tempe.
Di Jepang, tempe diteliti sejak tahun 1926 tetapi baru mulai diproduksi secara komersial sekitar tahun 1983. Pada tahun 1984 sudah tercatat 18 perusahaan tempe di Eropa, 53 di Amerika, dan 8 di Jepang. Di beberapa negara lain, seperti Republik Rakyat Tiongkok, India, Taiwan, Sri Lanka, Kanada, Australia, Amerika Latin, dan Afrika, tempe sudah mulai dikenal di kalangan terbatas.
Sejarah Tempe Asal Usul Bagaimana Tempe Ditemukan
Reviewed by Kendawangan
on
2/12/2022 08:33:00 AM
Rating: